Postingan

Terlalu Banyak 'Berpikir' Membuat Hidup Menjadi Runyam

Gambar
Apa yang ada dalam benak teman-teman ketika saya menuliskan kalimat diatas menjadi sebuah headline judul? Jangan-jangan ini tulisan pembelaan saya tentang cerita personal  yang sudah tidak jarang masuk kelas karena masa teori saya sudah selesai, kemudian lebih menekankan kepada penyelesaian skripsi? Maka dari pada itu, ini adalah bentuk campaign atas apa yang terjadi saat ini? I would definitly say no . Of course bukan. Tulisan ini adalah hasil dari refleksi diri saya pada suatu pagi saat memasuki kelas pertama YSEALI SE&ED tentang leadership mindset . Ini sumpah Psikologi banget. Terbukti dari slide-slide yang ada di dalamnya, everything that attached are all about Psychology's research all the tim e. Tentang Self seving bias , etc yang mana dalam hati saya bilang " Damn, another 2 SKS Psikologi lagi nih?" Namun, titik point saya bukan pada kuliah Psikologi setelah 1 tahun tidak masuk kelas, namun lebih kepada nilai yang lebih esensial dari pada itu. Ada s

Saya atau kamu-kah Pemuda Yang Pantas Mendapatkan "152 Juta" Tersebut? Sebuah Refleksi

Gambar
Judul kalimat diatas memiliki sebuah angka nominal yang jumlahnya tidak biasa. Ya, 152 juta jikalau kita pandang secara pendek, hal tersebut bisa digunakan untuk menyelesaikan 4 tahun (bahkan bisa lebih) masa kuliah S1 di Indonesia. Atau berbicara masalah lebih materialistik, sebuah mobil keluaran terbaru dengan spesifikasi yang sedang-sedang namun cukup nyaman untuk mengelilingi kota juga bisa didapatkan. Apa lagi? Sebuah apartemen tipe medium yang cukup untuk dua orang juga tak luput untuk bisa didapatkan dengan nominal tersebut. Nah, bisa dibayangkan jika semua hal diatas (biaya kuliah, mobil, atau apartment) itu kini harus hilang dari daftar keinginan karena uang tersebut kini secara resmi diberikan kepada satu orang pemuda ASEAN, habis dalam waktu 5 minggu, dan bahkan tidak tahu apa yang akan pemuda tersebut hasilkan dari investasi besar-besaran tersebut untuk seorang anak kost yang bahkan kuliah S1-nya saja belum lulus dibandingkan dengan kebanyakan pemuda-pemudi sepantaran l

Kebersyukuran Adalah Kunci Dari Kata Klise Bernama Kenikmatan

Gambar
Sering banget gak sih kita mendengar kalimat "Makanya jadi orang harus lebih banyak bersyukur, biar rezekinya ditambah" Hmm, dari zaman Orang tua kita baru lahir sampe kita dewasa kayaknya hal tersebut selalu muncul dan mengenang di ubun-ubun setiap insan yang memiliki kepercayaan bahwasanya rezeki adalah tentang cara kita untuk lebih banyak bersyukur disetiap kesempatan. Saya dan tulisan di Tempe, Arizona pagi hari ini tidak akan melakukan kajian secara harfiah dari kata-kata tersebut, namun lebih kepada bagaimana kontestasi kalimat tersebut dalam kehidupan saya, terutama dalam 2 tahun terakhir. Sebelumnya saya mau berterimakasih kepada semua pihak yang telah mengucapkan selamat kepada diri saya ketika saya mendapatkan sebuah keberkahan berupa rezeki, utamanya adalah beasiswa. Jujur, siapa yang pernah menyangka, bahkan sekelas Orang tua saya sendiri menggeleng-gelengkan kepala ketika sang anak belum lulu sampai saat ini. Loh, kok jadi itu. Namun, berbicara konteks s

Apa Saja Yang Saya Pelajari Dari "Bintang"

Gambar
" Best Friendship is What Makes You Think Future is as Close as Your Relationship " Ucapan diatas saya tulis di atas sebuah kursi kamar hotel tempat saya akan menghabiskan waktu selama 5 minggu kedepan di Negeri Paman Sam. Rasa tidak bisa menutup mata karena masih terjadwal sesuai dengan alur waktu Indonesia turut menyerang rasa tidak bisa tidur walaupun mengetahui jikalau besok adalah hari pertama untuk orientasi, dan acara dimulai sedari pagi. Tapi mau bagaimana? Lebih baik untuk menulis. Beberapa minggu belakangan, saya seperti menemukan teman baru rasa lama. Hubungan pertemanan yang sebenarnya kita bina dari 2013, baru kembali merekah pada awal tahun 2018. Nama diatas adalah sebuah perumpamaan dari bagaimana rasa syukur saya bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk berteman baik dengan Bintang. Walaupun beliau lebih suka dipanggil dengan sebutan "Baim", namun tetap, dengan apapun namanya dipanggil, saya ingin berterimakasih kepada Verezha B

Kado Terindah Dari Tuhan Untuk Ulang Tahunku, Hadianya "Amerika"

Gambar
24 Maret 2018. itu adalah Hari pertama saya menginjakan kaki saya di tanah yang letaknya menghabiskan waktu terbang kurang lebih 28 jam. Perjalanan dari Jakarta ke Narita, Narita ke Denver, hingga akhirnya sampai di tujuan akhir, Phoenix. Badan mental semua lelah setelah duduk terlalu lama di ruang duduk pesawat. Berkomunikasi hanya dilakukan ketika sampai pada sebuah tempat transit atau seperti sekarang yang telah sampai pada peristirahatan, Hotel Graduate, Arizona. Hobi saya yang selalu melakukan update terkait kegiatan yang saya lakukan, terutama saat moment-moment YSEALI seperti sekarang ini adalah hal yang tidak bisa saya lewatkan begitu saja. Maklum, orang macam saya yang bisa keluar negeri kalau ada yang bayarin, kesempatan ini adalah kesempatan langka, jadi maafkan saya. Mulai dari pemberhentian di Narita, Denver, hingga Phoenix, ada sesuatu pesan yang muncul di DM IG saya yang mana pesannya menunjukan hal yang sama,  “ Doakan aku biar bisa lolos YSEALI ya tahu

Pengangguran Sarjana Tinggi di Indonesia, karena Efek Binari?

Pasca Campus dan kehidupan sebelumnya yang serba tertuntut  Begitu lulus dan mendapatkan gelar sarjana, kata pertama setelah ucapan selamat adalah "Mau Kerja dimana?" Atau selang berbulan kemudian "Udah kerja dimana?" Tidak akan pernah ada yang salah memang. Apalagi konteksnya untuk memberikan indirect motivation bagi para wisudawan untuk mengimplementasikan ilmunya pada sebuah bidang (syukur-syukur memiliki impact pada masyarakat). Penulis belum sampai pada tataran tersebut se- simple karena penulis belum memindahkan helaian benang toga dari kiri ke kanan sebagai simbolisasi selesainya masa studi di perguruan tinggi.  Masuk ke tataran pasca dunia peralihan antara pendidikan formal dan kerja, Tuntutan yang datang semakin kencang dan memberikan cukup tekanan untuk segera lulus atau siap-siap ancaman DO dilayangkan yang membuat salah satu pra-syarat pernikahan di era modernisme secara tak tertulis (harus setidaknya memiliki gelar sarjana) walaupun belum bekerja