Terlalu Banyak 'Berpikir' Membuat Hidup Menjadi Runyam

Apa yang ada dalam benak teman-teman ketika saya menuliskan kalimat diatas menjadi sebuah headline judul? Jangan-jangan ini tulisan pembelaan saya tentang cerita personal yang sudah tidak jarang masuk kelas karena masa teori saya sudah selesai, kemudian lebih menekankan kepada penyelesaian skripsi? Maka dari pada itu, ini adalah bentuk campaign atas apa yang terjadi saat ini?

I would definitly say no. Of course bukan. Tulisan ini adalah hasil dari refleksi diri saya pada suatu pagi saat memasuki kelas pertama YSEALI SE&ED tentang leadership mindset. Ini sumpah Psikologi banget. Terbukti dari slide-slide yang ada di dalamnya, everything that attached are all about Psychology's research all the time. Tentang Self seving bias, etc yang mana dalam hati saya bilang

"Damn, another 2 SKS Psikologi lagi nih?"

Namun, titik point saya bukan pada kuliah Psikologi setelah 1 tahun tidak masuk kelas, namun lebih kepada nilai yang lebih esensial dari pada itu. Ada sebuah pelajaran yang saya tangkap dari ASU (iya, kamu itu ASU, enggak deng. Arizona State University) Leadership Center (Lembaga yang bergerak di bagian Leadership Development). Hal tersebut tercermin pada sebuah kumpulan kalimat yang berkata seperti ini

"Jika kamu terlalu banyak berfikir, maka hidupmu akan selalu dipenuhi dengan stress, yang mana akan mengganggu keberlangsungan hidup"

Then, the question came up with

"Loh, terus kok para CEO-CEO macam Mark Zuckerberg, etc kok hidupnya gak keliatan kalau dia stress ya?"

Ini konteksnya jangan diartikan sempit. Udah pasti mereka sibuk dengan kerjaannya sebagai seorang pimpinan perusahaan yang harus mengurusi bisnis berjalan. But, that's not the point of this article. Fokusnya adalah lebih kepada bagaimana kata training dari ASU Leadership Training adalah sebenarnya, banyak orang (kita-kita) ini yang dalam kaitannya dengan terlalu banyak berfikir adalah

"Manusia kebanyakan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang sebenarnya bisa kita hemat untuk keperluan lainnya"

Nah loh, dihemat untuk keperluan lainnya itu emang manusia 'normal' berfikir apa sih sampe-sampe 'dikatain' seperti itu? Sebagai seorang manusia yang hidupnya tidak seperti atau belum seperti CEO-CEO tingkat dewa diatas sana, kita setiap pagi, siang, sore, malam itu disibukan untuk sebuah hal yang sifatnya sebenarnya bisa kita 'seragamkan' yang mana membuat energi kita hemat untuk lebih banyak hal seperti contohnya: Baju yang kita pakai setiap hari, makanan yang kita makan setiap hari, aktivitas yang dilakukan sehari-hari, dll. Wew, iyakah?

" I really want to clear my life to make it so that i have ti make as few decisions as possible about anything except how to best serve this community." - Mark Zuckerberg 

Saya tidak tahu apakah teman-teman memperhatikan atau tidak, namun jikalau memperhatikan, mulai dari Mark Zuckerberg atau Steve Jobs, pakaian yang dipakai hampir setiap hari itu, sama. Tidak percaya?


























Bagaimana? Sudah percaya? The power of simplicity adalah sesuatu yang harus semua orang pegang agar bisa fokus terhadap apa yang dia ingin lakukan terbaik dalam hidupnya. Setidaknya, Steve Jobs dan Mark Zuckerberg telah menerapkan sebuah langkah dimana setiap pagi, mereka tidak perlu repot-repot untuk menentukan


"Duh, hari ini pakai baju apa ya?"

Lebih parahnya lagi, kalo teman-teman perhatikan jadwal setiap hari yang dimiliki oleh Lebron James, Oprah Winfrey, dan Charles Dickens, kita akan terperanga dengan sebuah konsep 



"Sukses itu bukan hanya sebuah kebiasaan yang diulang, namun bagaimana fokus untuk tidak memikirkan hal-hal lain selain dari apa yang kita kerjakan"


So, masih mau ribet dengan hal-hal pakai baju apa? Makan dimana? Naik apa? Instead of mikirin impact apa yang bisa kita berikan hari ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Glints Scholarship, Keajaiban di Tahun Terakhir Kuliah

Pengangguran Sarjana Tinggi di Indonesia, karena Efek Binari?

Glints's Question & Answer