Pengangguran Sarjana Tinggi di Indonesia, karena Efek Binari?
Pasca Campus dan kehidupan
sebelumnya yang serba tertuntut
Begitu lulus dan
mendapatkan gelar sarjana, kata pertama setelah ucapan selamat adalah "Mau
Kerja dimana?" Atau selang berbulan kemudian "Udah kerja
dimana?" Tidak akan pernah ada yang salah memang. Apalagi konteksnya untuk
memberikan indirect motivation bagi
para wisudawan untuk mengimplementasikan ilmunya pada sebuah bidang
(syukur-syukur memiliki impact
pada masyarakat). Penulis belum sampai pada tataran tersebut se-simple karena penulis belum memindahkan
helaian benang toga dari kiri ke kanan sebagai simbolisasi selesainya masa
studi di perguruan tinggi.
Masuk ke tataran pasca dunia peralihan antara pendidikan
formal dan kerja, Tuntutan yang datang semakin kencang dan memberikan cukup tekanan
untuk segera lulus atau siap-siap ancaman DO dilayangkan yang membuat salah
satu pra-syarat pernikahan di era modernisme secara tak tertulis (harus
setidaknya memiliki gelar sarjana) walaupun belum bekerja, tapi mau ada usaha
harus terkubur (?). Atau bagi mereka yang angkatan 2016 keatas (seperti saya)
yang membobol semester lebih dari kurva normal ini harus dengan cepat memutar
otak agar bagaimana biaya yang dikeluarkan orang tua lewat sismatika pro-kontra
UKT bisa setidaknya lunas untuk menebus akad (?). Belum lagi bagi mereka yang
memiliki taraf hidup diatas rata-rata mahasiswa yang biasa nyeduh Indomie
dibarengi Promag saat akhir bulan, menambah catatan pengeluaran orangtua. Bagi
mereka (re: mahasiswa yang sadar dan realis) maka mereka merasa memiliki
'utang' moril. Walaupun kata 'utang' dalam konteks relasi kuasa anak dan orang
tua agak kurang pas untuk disematkan.
Ada apa dengan Binari
Binari bisa saja
marah kepada penulis saat ini. Tidak tahu menahu, namun dilibatkan pada konteks
sekelas permasalahan negara, yang di dalamnya terkandung sebuah hubungan tidak
harmonis antara tingginya supply
(calon pencari kerja/graduated student)
yang dibarengi dengan minimnya demand
(Job offer perusahaan) yang
Jika dibiarkan maka hal ini akan menyebabkan kerugian negara karena menanggung
beban dari seseorang yang salah kecil dari mereka dilabeli sebagai lulusan
ekonomi universitas X yang katanya masuk aja susah, keluarnya apa lagi tersebut
tidak lebih dari penunggu kesempatan.
Pada tataran
perbincangan level warung kopi hingga meja kotak ala pejabat berdasi, jawaban
yang paling sering muncul adalah "Itukan gara-gara kompetensi/skills" "Kurangnya
infrastruktur penunjang" "merosotnya harga minyak yang menyebabkan
sarjana teknik banyak yang menganggur" dan banyak hal yang sifatnya fisik
(terlihat). Ada beberapa jawaban orang yang mulai sadar tentang semua hal
tersebut sudah masuk pada tataran mental
setting.
Hal ini berkaitan
erat dengan Pola Pikir Binari yang penulis masukan sebagai variabel independent pada tulisan ini. Pola Pikir
Binari adalah sebuah kondisi dimana seseorang hanya memiliki dua pilihan
(ya/tidak) (Kiri/Kanan) (benar/salah) (baik/buruk) atau Hitam atau Putih.
Percaya tidak
percaya, hal tersebut merembes pada sebuah struktur berpikir masyarakat,
khususnya Indonesia dalam menentukan menjadikan diri kita menjadi pribadi yang
judgemental dan penuh dengan fantasi akan kebenaran semu yang dianggapnya
mutlak.
Binari dan Tingginya Pengangguran Sarjana di Indonesia
konteks kaitannya Binari dan pengangguran
sarjana di Indonesia adalah di ibaratkan orang tua memiliki seorang anak yang
berkuliah di jurusan kedokteran. Orang tua tersebut akan merasa bangga jikalau
anaknya bisa meneruskan pathway career-nya
menjadi seorang Dokter. Namun, jikalau anaknya tidak menjadi seorang Dokter,
maka akan muncul sebuah kekecewaan. Hingga kadang ada sebuah ucapan yang keluar
“Kamu udah mamah sekolahin di jurusan
kedokteran, malah gak jadi dokter. Sia-sia uang mamah keluar”. Padahal, ada
beberapa dari teman-teman lulusan Kedokteran yang saya kenal malah membanting
stir untuk akhirnya menjadi seorang entrepreneur
/ bahkan pengajar SD. Lalu apakah mereka yang menjadi outliers tersebut adalah sekumpulan orang-orang yang salah?
Jawabannya tentu tidak. Banyak alasan dari mereka yang menyebutkan kalau
memiliki background dari Kedokteran
namun tidak menjadi Dokter masih tetap bisa mengimplementasikan ilmunya lewat
hal-hal lain seperti: volunteering,
Keluarga, etc. Atau berbeda kisah
dengan orang tua yang memiliki seorang anak yang berkuliah di jurusan Teknik
yang mana berharap anaknya bisa menjadi seorang engineer. Namun, bisa dibayangkan ada berapa puluh ribu lulusan engineer dari sebuah perguruan tinggi di
setiap tahunnya sedangkan jumlah lowongan yang disediakan mungkin tidak jauh
lebih banyak dari pada yang dibutuhkan. Kalau sudah begini, dengan tetap
mempertahankan sebuah mindset binari,
apakah benar kalau Negara kita tingkat penganggurannya semakin bertambah hanya
karena sebatas lack of skills atau
kurangnya lahan pekerjaan?
Kutunggu entrepreneur masa depan pak
BalasHapus