Kebersyukuran Adalah Kunci Dari Kata Klise Bernama Kenikmatan


Sering banget gak sih kita mendengar kalimat

"Makanya jadi orang harus lebih banyak bersyukur, biar rezekinya ditambah"

Hmm, dari zaman Orang tua kita baru lahir sampe kita dewasa kayaknya hal tersebut selalu muncul dan mengenang di ubun-ubun setiap insan yang memiliki kepercayaan bahwasanya rezeki adalah tentang cara kita untuk lebih banyak bersyukur disetiap kesempatan. Saya dan tulisan di Tempe, Arizona pagi hari ini tidak akan melakukan kajian secara harfiah dari kata-kata tersebut, namun lebih kepada bagaimana kontestasi kalimat tersebut dalam kehidupan saya, terutama dalam 2 tahun terakhir.

Sebelumnya saya mau berterimakasih kepada semua pihak yang telah mengucapkan selamat kepada diri saya ketika saya mendapatkan sebuah keberkahan berupa rezeki, utamanya adalah beasiswa. Jujur, siapa yang pernah menyangka, bahkan sekelas Orang tua saya sendiri menggeleng-gelengkan kepala ketika sang anak belum lulu sampai saat ini. Loh, kok jadi itu. Namun, berbicara konteks sekarang, ketika Ibu saya update status di Social media-nya (Facebook) tentang keberangkatan anak pertamanya ke Negeri Paman Sam, banyak yang mengatakan

"Wah, selamat ya Bu, anaknya sudah lanjut S2 saja di Amerika"

Shock adalah reaksi pertama dan sifatnya reaktif baik dari saya dan ibu selaku pasangan anak dan orang tua yang tidak terima komen Netizen budiman di Pagi hari, waktu Jakarta setempat. Namun, satu hal yang saya selalu kagum dari sosok perempuan yang melahirkan saya

"Setiap perkataan orang itu adalah Doa, jadi Aamiinkan saja"

Hmm, baik Mah. Siapa tahu kan ya, doa-doa tersebut terkabul dan diberikan kemudahan untuk saya bisa lanjut studi S2, setelah sebelumnya yang S1 dirampungke dahulu. Nah, bicara netizen yang komen diatas, rata-rata dari mereka adalah kolega Mamah saya yang umurnya sudah diatas 40 tahun. Jadi ketika berkomentar, saya memaklumi maksud dari ucapan 'Selamat'. Nah, beda lagi ketika teman-teman saya yang mengucapkan ucapan 'Selamat'. Memang tidak bisa dan tidak mau juga saya menyamaratakan semua justifikasi kepada teman-teman semua, namun casenya...

A: Wah, selamat ya Yas, beasiswa ke Swiss nih ye. Baru aja mau berangkat ke Amerika. Bagi-bagi dong tipsnya
Dias: Wah, terimakasih. Tips dari saya adalah bersyukur

Bagi teman-teman yang merasa pernah mendapatkan balasan chat seperti diatas ketika mengucapkan perkatan 'Selamat", for seriously, it was not a joke 100%. I can guarantee that the reason why i got scholarship is from the smallest thing, name: Bersyukur. Pertanyaannya

"Masa sih dengan bersyukur aja bisa mengatantarkan kita ke Amerika dan Swiss secara cuma-cuma?"

Ya, pastinya 'bersyukur' disini jangan diartikan pada konteks yang sempit. Bersyukur dalam artian kita merasa apa yang Tuhan berikan kepada kita dalam bentuk nikmat adalah hal yang harus kita panjatkan terimakasih, dengan harapan dengan yang sedikit namun penuh nikmat, kita bisa diberikan tambahan nikmat dari Tuhan. Saya punya sebuah contoh kasus dimana kejadian terjadi pada tahun 2014. Semua hal-hal yang terjadi saat ini mungkin masih berada di kaki-kaki langit. Saat itu, bagaimana saya bermimpi (langsung) untuk bisa mengunjungi Negeri Paman Sam ketika semester baru menginjakan dirinya pada tahun ke-3. Sesuatu hal yang memang kalo dirunut melalui akan sehat susah untuk dicerna keabsahannya.

Maklum, saat itu baru dapet sebuah informasi yang menggebu-gebu tentang sebuah informasi program bernama YSEALI yang mana beritanya sudah masuk sampai ke telinga dan menetap di hati. Kalau ada orang yang patut disalahkan saat itu karena tidak cukup tahu diri atas dirinya, maka orang tersebut adalah saya. Baru semester awal, udah mengharap bisa dapet beasiswa ke US. Ya tapi kan namanya juga berharap. Ssah-sah aja lah yha..

Berharap dapat yang jauh, rezeki pertama saya malah datang untuk mengunjungi Negara tetangga, Singapura. Well, its also the same (foreign country) but.... ya paham lah ya bagaimana kecewanya meminta A dikasih Z. But well, kecewa tersebut perlahan demi perlahan saya coba hilangkan dengan sebuah mindset dimana to be a traveller it means countries are free for having you. Baik, tidak apa-apa, saya jalankan apa yang Tuhan berikan kepada saya saat itu. Tapi bukan berarti saya menyerah kepada angan saya yang masih meneriakan kata "Amerika, I'm Coming" even, it counts everyday and everynight.

Percobaan kedua, ketiga hingga saya tidak terlalu membuat perhitungan detail tentang bagaimana diri saya bisa yakin no matter what happens, i would not give up, bahkan luntur kemauan tersebut. Asa tetap menyala walau badan 'dibiarkan' mengelana ke negara-negara lainnya. Namun, satu hal yang selalu saya rasakan bahwasanya, setiap tahun, setiap saya berpulang dari sebuah Negara, kepergian saya ke negara berikutnya semakin meningkat dari jarak tempuhnya (Singapura, Malaysia, Kamboja, Thaiand, South Korea, India, hingga akhirnya bisa menyentuh Amerika). Itu semua saya anggap proses. Tidak lebih dan kurang, value yang tertanam dalam diri saya adalah "Bertumbuh".

Bersyukur dan Bertumbuh. Dua hal yang berkaitan dan dari sanalah saya mengetahui bahwasanya

Yang Sukses Hanya Ditunjukan Kepada Mereka Yang Berproses






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Glints Scholarship, Keajaiban di Tahun Terakhir Kuliah

Pengangguran Sarjana Tinggi di Indonesia, karena Efek Binari?

Glints's Question & Answer